Waktu berjalan begitu cepatnya. Pernikahanku dengan mas Faisal kini sudah memasuki tahun ke empat. Benih-benih kebosanan pun mulai tumbuh. Mas Faisal yang dulu humoris dan sering memberikan kejutan-kejutan yang tak terduga kini tak sama lagi. Ia lebih suka duduk berlama-lama di depan komputer jinjingnya menuliskan baris demi baris program yang tak banyak kutahu artinya. Bicara padaku pun hanya seperlunya saja.
“Mas besok mau kubuatkan sarapan apa?” tanyaku membuka obrolan.
“Terserah kamu saja dik” ia menjawab sekenanya sambil tetap menatap layar komputernya.
“Baik Mas.” Ujarku mengakhiri pembicaraan.
Beginikah rasanya diduakan? Memang bukan dengan wanita lain. Ahh tapi rasanya sungguh tak enak. Mas Faisalku yang dulu penuh perhatian, kini berubah. Ia seolah-olah asing bagiku. Pulang kerja, ganti baju, makan, lalu kembali lagi ke depan layar komputernya hingga waktu tidurnya tiba. Tak bisakah meninggalkan pekerjaan kantormu barang sejenak? Rasanya ingin kuhancurkan barang itu hingga berkeping-keping.
Aku juga butuh didengarkan. Nampaknya mas Faisal tidak mengerti keinginanku itu. Sebagai ibu rumah tangga akupun menghadapi banyak kesulitan dan cobaan. Saat Fariz, anak kami yang hampir berusia 3 tahun rewel, aku butuh tempat berkeluh kesah. Akupun mencapai titik jenuh atas sikapnya itu hingga kuputuskan untuk pulang kerumah ibu sementara waktu. Kuminta izin padanya dan ia mengizinkan.
Sabtu sore, dengan bus antar kota aku meluncur ke kota kelahiranku bersama Fariz, Solo. Kota yang tak banyak berubah semenjak aku kecil dulu, banyak kenangan tersimpan disini. Sesampainya diterminal, Fadhil menjemputku. Ia adikku yang kebetulan sedang liburan kuliah.
“Maaf ya Dhil, mbak selalu merepotkan kamu…” Kataku pada Fadhil.
“Lha yo ora toh mbak. Buat mbakku yang cantik ini apa sih yang ga.” Godanya padaku. Adikku ini memang selalu bisa membuat aku bahagia. Ia cukup penurut. Tak banyak berkata-kata namun tetap bisa menghidupkan suasana.
Sampai dirumah, ibu menyambutku dengan senyumnya yang khas, senyum yang teduh. Beliau langsung mendekap aku dan Fariz seakan menumpahkan rasa ridunya pada kami.
“Sini, sini cucu eyang uti… Udah besar ya. Lho kok ayahnya tidak ikut kesini?” Ibu mulai membombardirku dengan tanyanya.
Tanpa persiapan kata-kata kubilang bahwa mas Faisal sedang sibuk dengan pekerjaannya. “Tapi setelah pekerjaannya selesai, ia akan menyusul kesini. ” timpalku. Padahal mas Faisal tidak bilang demikian. Aku terpaksa berbohong untuk membuat ibu tenang. Padahal sesungguhnya aku merasa rumah tangga kami sedang tidak harmonis. Sudahlah, aku hanya ingin melupakannya untuk sementara waktu.
Tak terasa sudah seminggu aku berada dirumah ibu. Perlahan aku pun sudah mulai lupa dengan masalah rumah tanggaku. Aku mulai rindu sama mas Faisal. Bagaimana ya keadaannya. Sengaja aku tak menghubunginya selama aku berada disini. Aku ingin memberinya waktu untuk sendiri. Namun, pikiran yang tidak-tidak pun menyeruak dalam benakku. “Kenapa ya mas Fais tidak menghubungiku, jangankan menelepon sekedar pesan singkat pun tidak. Jangan-jangan…” Astagfirullah aku tak pantas mencurigai suamiku sendiri, apalagi tanpa bukti sedikitpun. Mas Fais memang sedang sibuk,
Handphone-ku berdering, satu pesan diterima. Ternyata dari mas Fais. Baru kali ini aku menerima pesan darinya dengan rasa senang yang tak biasa. “Dik, aku mau ke Solo. Sore ini berangkat dari Jakarta. Kabarmu bagaimana? maaf ya seminggu ini mas sangat sibuk. Alhamdulillah saat ini sudah selesai semua. ” begitulah bunyi smsnya. Dari bahasanya, aku rasa dia tidak tau kalau aku ini sedang “ngambek” sama dia.
Sent : ” Alhamdulillah mas, aku juga ikut senang mas karena pekerjaanmu selesai dengan baik. Aku dan Faris sehat. Keluarga disini pun sehat wal’afiat. Kami menunggu kedatanganmu disini. ” Padahal suasana hatiku menjadi tak enak lagi mengingat minggu lalu, sikap mas Fais begitu acuh padaku. Huh, aku ingin sedikit lebih lama lagi menyendiri di Solo. Tapi sudahlah, mungkin mas Fais kangen mendengar ocehan Faris, putra kami.
Kuberitahu ibu bahwa mas Fais akan datang ke Solo. ” Sore ini dia berangkat dari Jakarta. InsyaAllah besok Subuh sudah tiba disini.” Ujarku pada ibu. “Lho kenapa kamu baru bilang sekarang to nduk?, kalau kamu bilangnya dari kemarin kan ibu bisa ke pasar hari ini. Kasian kan menantu kesayangan ibu sudah jauh-jauh datang mau mencicipi masakan ibu.. ehh ga dimasakin.” ujar ibu dengan gaya pedenya. Aku hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkah ibu. Begitulah ibu, kalau ada orang yang mau datang, selalu saja menjadi repot sendiri. Dari beliaulah aku banyak belajar bagaimana cara mencintai, belajar mengenai kesetiaan, dan banyak belajar mengenai hidup.
Selepas sholat subuh, pintupun berbunyi. Ada sesorang yang mengucap salam. Aku kenal suara itu, ya itu mas Fais. Kubuka pintu dan kupasang senyum diwajah. Meskipun di sudut hati ini masih ada rasa kecewa terhadapnya. Ia membalas senyum dengan tulus. Wajahnya berbinar. ” Dik, mana Faris? ” tanyanya. “Ia belum bangun. Tadi malam ia senang sekali karena kubilang kau mau datang.”
mas Fais : “Dik, aku mendapat dua tiket ke Singapura. Aku tau kau ingin kesana, bukan? ”
aku : ” Mas dapet uang darimana? untuk kesana kan ga murah mas. ”
mas Fais : “Iya aku tau dik, memang tidak murah. Karena kutahu kau ingin sekali kesana, selama 2 tahun ini aku menabung tanpa sepengetahuanmu. Aku minta maaf dik, aku tak jujur padamu. Aku ingin membuat kejutan untukmu. Dan selama satu bulan ini, aku mendapat proyek ekstra dari bosku. Proyek itu kukerjakan selepas bekerja di kantor. Mungkin sikapku menjadi acuh saat itu padamu. Tapi aku sama sekali tak bermaksud untuk mengacuhkanmu, sungguh!. Semua itu kulakukan agar kita bisa bersama-sama liburan ke Singapura”. Mas Fais menjelaskan dengan panjang lebar dan sangat bersemangat.
Sementara aku, hanya bisa mendengarkannya dan berusaha menutupi keharuan di hatiku. Ternyata ia masih mas Faisku yang dulu, mas Fais yang penuh perhatian. Aku merasakan seraut cinta yang menghiasi wajahnya. Dan air mataku pun jatuh tak tertahankan.Maafkan aku mas.
*Hasil jalan-jalan ke blog lama, ada cerpen yang kutulis beberapa waktu silam. Dipindah kesini supaya bisa dibaca lagi*