Think Positive

Pagi ini di toilet wanita, gak sengaja denger percakapan 2 ibu-ibu subdirektorat depan.

A : Jadi si ibu itu ga jadi naik pangkat gara-gara penilaiannya kurang bu?
B : Iya bu, kasian amat ya, teman-teman seangkatannya pada naik pangkat semua.

bladiblaa..

A : Makanya kalau minta itu sama Allah dulu, terus sama Allah lagi, lagi dan lagi.

 

Lhah bener banget. Allah emang sebaik-baiknya tempat untuk meminta pertolongan. Biarlah semua orang-orang menjauh darimu, asalkan kamu tetap dekat sama Allah. Meminta dan mengadulah tentang semua hal yang memberatkan hati dan pikiran kita. Beda sama manusia yang mungkin sebel kalo kita terlalu sering meminta bantuannya, Allah justru senang kalo kita banyak-banyak meminta, itu merupakan sebuah pengakuan bahwa manusia itu memang butuh Allah. Sedangkan Allah sama sekali tidak membutuhkan kita. Kalo kita mendekati Allah dengan berjalan, maka Dia akan mendekati kita dengan berlari. Kalau kita mendekat kepada Allah satu jengkal saja, Dia akan mendekati kita sejauh satu hasta.

 

Kadang, sadar atau tidak kita sering terjebak sama pengharapan kepada sesama manusia. Kita ingin seseorang bersikap seperti yang kita inginkan. Namun, kenyataannya ia tetap saja bersikap seperti itu. Lalu akhirnya hanya kekecewaan yang ditimbulkan. Lalu apakah orang itu salah sama kita? Tentu saja tidak. Kitanya aja yang terlalu berharap yang tidak-tidak sama orang itu. Harusnya sikap dan mindset kita aja yang perlu diperbaiki. Misalnya, teman kita koq seharian kusut banget (pakaian kalii kusut :p). Nah kita gak boleh langsung menghakimi bahwa dia tidak suka sama kita. Harus ditelusuri dulu sebenernya dia ada masalah atau kenapa. Saya yakin semua orang melakukan sesuatu hal pasti dengan disertai alasan-alasan. Tak mungkin seseorang melakukan sesuatu tanpa disertai alasan. Kalau kamu gak mau ganggu dia dengan pertanyaan-pertanyaanmu, maka sebaiknya segera perbaiki dugaanmu terhadap dia. Berbaik sangkalah..

Saya Seorang Koruptor

Dalam sehari, semua orang di dunia ini punya waktu yang sama, 24 jam. Baik dia kaya atau miskin, tua maupun muda, laki-laki atau perempuan semua sama. Yang membedakan dalah bagaimana mereka menggunakan dan membagi waktu mereka. Setiap orang diberi waktu 24 jam dalam sehari. Secara umum, kita menggunakan delapan jam untuk bekerja, 8 jam untuk beristirahat, dan 8 jam lainnya untuk beribadah dan kegiatan lainnya. Pertanyaan buat diri sendiri, sudahkah saya memanfaatkan waktu-waktu saya yang saya miliki dengan semestinya? bukankah setiap waktu yang dijalani akan diminta pertanggung jawabannya kelak oleh Allah?

Kadang kita terlalu sibuk menghujat para koruptor negara yang dianggap sudah menyalahgunakan uang negara. Hingga lupa bahwasanya kita kerap menjadi koruptor. Ya saya seorang koruptor, sayalah sang koruptor waktu. Berapa banyak pekerjaan yang sering saya tunda-tunda. Berapa banyak janji yang tidak tepat waktu dan belum sempat tertunaikan. Kebiasaan menunda-nunda pekerjaan membuat semua rencana-rencana yang udah disusun dengan baik jadi hancur berantakan. Memang menonton serial korea lebih mengasikkan daripada membereskan kamar.. tetapi membereskan kamar lebih penting daripada menonton serial korea kan?

Ini mengenai prioritas, tingkat kepentingan sebuah pekerjaan. Jika suatu pekerjaan semakin penting dan semakin mendesak, maka harus diutamakan. Misalnya membalas email yang harus dilakukan saat itu juga. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak penting juga tidak mendesak contohnya mengomentari status facebook teman. Pekerjaan yang penting tetapi tidak mendesak contohnya membaca timeline twitter dari orang-orang yang kita ikuti. Menurut saya jejaring informasi twitter cukup baik untuk meng-update informasi setiap saat. Paling tidak kita ‘ngeh’ akan apa yang terjadi di sekitar kita.

Mari mengatur penggunaan waktu dengan lebih baik lagi.. mumpung masih diberi waktu ^^

Di sebuah sudut Jakarta

Gerimis menari sore itu di sekitar Tanah Abang. Aku menumpang kopaja 502 jurusan Tanah Abang-Kampung Melayu. Suara geraman mesin kopaja setia menemani perjalanan kami. Beruntung kopaja itu tidak terlalu sesak oleh penumpang. Laki-laki muda yang usianya sekitar 20-25 tahun naik. Badannya kurus. Dia tidak mencari tempat duduk seperti penumpang pada umumnya. Dia berdiri di depan pintu sambil menghadap ke penumpang-penumpang lain.

“Pak buk om tante, bukannya kami malas, bukannya kami tak mau bekerja. Pak buk om tante, andai saja saya punya ijazah SMA, tentu saya mau bekerja seperti kalian.. bladibla.. ” ujar laki-laki itu.

Aku merasa bersalah, sangat bersalah. Beberapa hari ini aku merasa bosan dan jenuh sama rutinitas sehari-hari. Pulang pergi dari kontrakan ke kantor dari Senin hingga Jum’at. Ucapan laki-laki itu membuatku tersadar bahwa di luar sana masih banyak orang-orang yang membutuhkan pekerjaan. Betapa tak bersyukurnya aku kalau saja masih mengeluh bosan.

Cring..cring.. bunyi kumpulan koin yang dihentakkan itu menandakan kernet kopaja meminta bayaran. Kusodorkan selembar uang pecahan dua ribu rupiah. Ternyata kernet kopaja itu masih remaja. Usianya sekitar 15 tahun. Rambutnya seperti sudah lama tak pernah dipotong. Ia mengenakan kemeja putih (mesti jadi terlihat coklat karena kotor) yang ukurannya lebih cocok untuk bapak-bapak. Dan yang paling membuat ngilu, ia tak memakai alas kaki meski hanya sepasang sendal jepit.

Aku mencoba membayangkan bagaimana saat siang hari ia bekerja. Aspal jalanan ibukota pasti sangat menyengat kulit telapak kakinya. Terdengar sayup-sayup bahwa dia habis jatuh siang harinya di daerah Jatinegara. Tampaknya dia harus dewasa sebelum waktunya tiba. Waktunya tidak ia habiskan untuk bermain-main dengan teman sebayanya tetapi untuk memastikan bahwa ada makanan yang akan dimakan esok hari. Bergelantungan di pintu kopaja, berinteraksi dengan penumpang kopaja dari berbagai penjuru Jakarta meski hanya menarik ongkos.

Jakarta memang seolah menjanjikan kehidupan yang slalu menyenangkan. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Apalagi untuk orang-orang seperti mereka, butuh perjuangan yang teramat sangat untuk bertahan hidup kota Jakarta.

Seraut Cinta di Wajah Mas Faisal

Waktu berjalan begitu cepatnya. Pernikahanku dengan mas Faisal kini sudah memasuki tahun ke empat. Benih-benih kebosanan pun mulai tumbuh. Mas Faisal yang dulu humoris dan sering memberikan kejutan-kejutan yang tak terduga kini tak sama lagi. Ia lebih suka duduk berlama-lama di depan komputer jinjingnya menuliskan baris demi baris program yang tak banyak kutahu artinya. Bicara padaku pun hanya seperlunya saja.

“Mas besok mau kubuatkan sarapan apa?” tanyaku membuka obrolan.

“Terserah kamu saja dik” ia menjawab sekenanya sambil tetap menatap layar komputernya.

“Baik Mas.” Ujarku mengakhiri pembicaraan.

Beginikah rasanya diduakan? Memang bukan dengan wanita lain. Ahh tapi rasanya sungguh tak enak. Mas Faisalku yang dulu penuh perhatian, kini berubah. Ia seolah-olah asing bagiku. Pulang kerja, ganti baju, makan, lalu kembali lagi ke depan layar komputernya hingga waktu tidurnya tiba. Tak bisakah meninggalkan pekerjaan kantormu barang sejenak? Rasanya ingin kuhancurkan barang itu hingga berkeping-keping.

Aku juga butuh didengarkan. Nampaknya mas Faisal tidak mengerti keinginanku itu. Sebagai ibu rumah tangga akupun menghadapi banyak kesulitan dan cobaan. Saat Fariz, anak kami yang hampir berusia 3 tahun rewel, aku butuh tempat berkeluh kesah. Akupun mencapai titik jenuh atas sikapnya itu hingga kuputuskan untuk pulang kerumah ibu sementara waktu. Kuminta izin padanya dan ia mengizinkan.

Sabtu sore, dengan bus antar kota aku meluncur ke kota kelahiranku bersama Fariz, Solo. Kota yang tak banyak berubah semenjak aku kecil dulu, banyak kenangan tersimpan disini. Sesampainya diterminal, Fadhil menjemputku. Ia adikku yang kebetulan sedang liburan kuliah.

“Maaf ya Dhil, mbak selalu merepotkan kamu…” Kataku pada Fadhil.

“Lha yo ora toh mbak. Buat mbakku yang cantik ini apa sih yang ga.” Godanya padaku. Adikku ini memang selalu bisa membuat aku bahagia. Ia cukup penurut. Tak banyak berkata-kata namun tetap bisa menghidupkan suasana.

Sampai dirumah, ibu menyambutku dengan senyumnya yang khas, senyum yang teduh. Beliau langsung mendekap aku dan Fariz seakan menumpahkan rasa ridunya pada kami.

“Sini, sini cucu eyang uti… Udah besar ya. Lho kok ayahnya tidak ikut kesini?” Ibu mulai membombardirku dengan tanyanya.

Tanpa persiapan kata-kata kubilang bahwa mas Faisal sedang sibuk dengan pekerjaannya. “Tapi setelah pekerjaannya selesai, ia akan menyusul kesini. ” timpalku. Padahal mas Faisal tidak bilang demikian. Aku terpaksa berbohong untuk membuat ibu tenang. Padahal sesungguhnya aku merasa rumah tangga kami sedang tidak harmonis. Sudahlah, aku hanya ingin melupakannya untuk sementara waktu.

Tak terasa sudah seminggu aku berada dirumah ibu. Perlahan aku pun sudah mulai lupa dengan masalah rumah tanggaku. Aku mulai rindu sama mas Faisal. Bagaimana ya keadaannya. Sengaja aku tak menghubunginya selama aku berada disini. Aku ingin memberinya waktu untuk sendiri. Namun, pikiran yang tidak-tidak pun menyeruak dalam benakku. “Kenapa ya mas Fais tidak menghubungiku, jangankan menelepon sekedar pesan singkat pun tidak. Jangan-jangan…” Astagfirullah aku tak pantas mencurigai suamiku sendiri, apalagi tanpa bukti sedikitpun. Mas Fais memang sedang sibuk,

Handphone-ku berdering, satu pesan diterima. Ternyata dari mas Fais. Baru kali ini aku menerima pesan darinya dengan rasa senang yang tak biasa. “Dik, aku mau ke Solo. Sore ini berangkat dari Jakarta. Kabarmu bagaimana? maaf ya seminggu ini mas sangat sibuk. Alhamdulillah saat ini sudah selesai semua. ” begitulah bunyi smsnya. Dari bahasanya, aku rasa dia tidak tau kalau aku ini sedang “ngambek” sama dia.

Sent : ” Alhamdulillah mas, aku juga ikut senang mas karena pekerjaanmu selesai dengan baik. Aku dan Faris sehat. Keluarga disini pun sehat wal’afiat. Kami menunggu kedatanganmu disini. ” Padahal suasana hatiku menjadi tak enak lagi mengingat minggu lalu, sikap mas Fais begitu acuh padaku. Huh, aku ingin sedikit lebih lama lagi menyendiri di Solo. Tapi sudahlah, mungkin mas Fais kangen mendengar ocehan Faris, putra kami.

Kuberitahu ibu bahwa mas Fais akan datang ke Solo. ” Sore ini dia berangkat dari Jakarta. InsyaAllah besok Subuh sudah tiba disini.” Ujarku pada ibu. “Lho kenapa kamu baru bilang sekarang to nduk?, kalau kamu bilangnya dari kemarin kan ibu bisa ke pasar hari ini. Kasian kan menantu kesayangan ibu sudah jauh-jauh datang mau mencicipi masakan ibu.. ehh ga dimasakin.” ujar ibu dengan gaya pedenya. Aku hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkah ibu. Begitulah ibu, kalau ada orang yang mau datang, selalu saja menjadi repot sendiri. Dari beliaulah aku banyak belajar bagaimana cara mencintai, belajar mengenai kesetiaan, dan banyak belajar mengenai hidup.

Selepas sholat subuh, pintupun berbunyi. Ada sesorang yang mengucap salam. Aku kenal suara itu, ya itu mas Fais. Kubuka pintu dan kupasang senyum diwajah. Meskipun di sudut hati ini masih ada rasa kecewa terhadapnya. Ia membalas senyum dengan tulus. Wajahnya berbinar. ” Dik, mana Faris? ” tanyanya. “Ia belum bangun. Tadi malam ia senang sekali karena kubilang kau mau datang.”

mas Fais : “Dik, aku mendapat dua tiket ke Singapura. Aku tau kau ingin kesana, bukan? ”

aku : ” Mas dapet uang darimana? untuk kesana kan ga murah mas. ”

mas Fais : “Iya aku tau dik, memang tidak murah. Karena kutahu kau ingin sekali kesana, selama 2 tahun ini aku menabung tanpa sepengetahuanmu. Aku minta maaf dik, aku tak jujur padamu. Aku ingin membuat kejutan untukmu. Dan selama satu bulan ini, aku mendapat proyek ekstra dari bosku. Proyek itu kukerjakan selepas bekerja di kantor. Mungkin sikapku menjadi acuh saat itu padamu. Tapi aku sama sekali tak bermaksud untuk mengacuhkanmu, sungguh!. Semua itu kulakukan agar kita bisa bersama-sama liburan ke Singapura”. Mas Fais menjelaskan dengan panjang lebar dan sangat bersemangat.

Sementara aku, hanya bisa mendengarkannya dan berusaha menutupi keharuan di hatiku. Ternyata ia masih mas Faisku yang dulu, mas Fais yang penuh perhatian. Aku merasakan seraut cinta yang menghiasi wajahnya. Dan air mataku pun jatuh tak tertahankan.Maafkan aku mas.

*Hasil jalan-jalan ke blog lama, ada cerpen yang kutulis beberapa waktu silam. Dipindah kesini supaya bisa dibaca lagi*

Pantaskah kita menyakiti mereka?

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada Ku-lah kamu kembali” [QS. Luqman : 14]

Seminggu yang lalu, tepatnya hari Sabtu pagi saya menumpang kereta Rangkas Jaya jurusan Rangkas Bitung, Lebak. Kereta patas ekonomi tersebut saya rasa jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan kereta ekonomi lainnya. Paling tidak, tak ada suara abang-abang penjual tahu, minuman ringan, buah-buahan, dan sebagainya. Pemberangkatannya pun hanya dua kali dalam sehari. Keberangkatan pertama dari stasiun Tanah Abang jam 8 pagi, pemberangkatan kedua jam 5 sore. Pekan kemarin dan mungkin pekan-pekan selanjutnya saya lebih memilih untuk menggunakan kereta pagi saja karena lebih santai. Dalam tulisan ecek-ecek saya kali ini, saya gak pengen membahas kereta api tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatian saya saat itu.

Saya sengaja memilih gerbong yang agak belakang. Memang benar dugaan saya bahwa gerbong belakang sedikit lebih lengang penumpang. Sayangnya kepulan asap rokok cukup menyesakkan pernapasan. Banyak bangku yang masih kosong dan saya bebas memilihnya. Pilihan saya jatuh ke bangku 2-2, di sebelah saya duduk seorang laki-laki setengah baya yang sepertinya setengah tertidur. Di depan saya duduk sepasang laki-laki dan perempuan. Saya menduga mereka adalah pasangan suami istri.

Hening. Tak ada percakapan di antara kami. Berusaha memejamkan mata, tetap saja tak bisa terpejam. Saya lebih suka mengamati keadaan sekitar dan mengamati gerak-gerik setiap orang di sekitar saya.

Perempuan yang duduk di depan saya itu, sejak saya datang ia menghirup minyak kayu putih dalam sebuah botol plastik berukuran sebesar genggaman tangan. Ekpresinya seperti menahan rasa sakit. Sesekali air matanya menetes, tapi saya yakin bukan karena sedih. Saya pikir dia masuk angin, hingga saya berani untuk menanyakannya. S=saya, I=perempuan di depan saya.

S : “Ibu lagi sakit ya”

I : “Enggak neng, saya sedang ngidam 3 bulan.”

Suasana kembali hening. Perempuan tersebuat kembali menahan rasa mual yang tengah mengaduk-aduk perutnya. Tentu saja perempuan itu bahagia menyambut kehadiran calon buah hati mereka. Rasa mual seperti itu pasti tidak ada apa-apanya dibanding membayangkan wajah calon bayi mereka. Tangis kecilnya juga senyum yang menggemaskan serta tawa riangnya. Dan kata sebagian besar orang yang pernah mengandung dan melahirkan, mereka baru merasakan menjadi perempuan yang seutuhnya setelah melahirkan, benarkah? ^^.

Kembali lagi ke perempuan muda yang duduk di depan saya tadi, seketika itu pula saya langsung ingat sama ibu dirumah. Kurang lebih seperti itu kali ya ketika dulu ibu mengandung saya. Dimulai dari masa-masa yang orang sebut ngidam, entahlah dari mana istilah tersebut berasal. Menurut banyak orang, masa-masa ngidam merupakan masa yang cukup sulit, pada umumnya sering merasakan mual. Bahkan ada yang sangat sensitif terhadap bau makanan. Kemana-mana selalu bersama dengan calon jabang bayinya, tak pernah sedetikpun terpisah (hehe iyalah ^^V). Itulah mungkin yang menyebabkan kuatnya ikatan batin antara seorang anak dengan ibunya.

Sebagai seorang anak, sebesar apapun usaha yang dilakukan untuk membalas semua pengorbanan ibu kita, tak akan pernah kita bisa membalasnya. Pada suatu ketika seseorang datang ke Rasulullah SAW. Ia bercerita telah menggendong ibunya di pundaknya sendirian selama menjalani seluruh rukun dan wajib haji. Ia ingin mengetahui apakah perbuatannya itu telah dapat membalas kebaikan yang selama ini ditunjukkan ibunya di masa kanak-kanak. Rasulullah SAW menjawab, ”Tidak, semua yang telah kau kerjakan itu belum dapat membalas satu kali rasa sakit karena kontraksi rahim ketika ibumu melahirkanmu ke dunia.

Tanpa disadari, seringkali seorang anak (termasuk saya) menyakiti hati ibunya. Bahkan kita tidak boleh berkata ‘ah’ kepada kedua orang tua. Padahal keberadaan kita di dunia tidak terlepas dari keikhlasan mereka dalam memberikan kasih sayang, terlebih-lebih ketika ibu mempertaruhkan nyawanya untuk mengawali kehidupan kita di dunia. Mereka (ayah dan ibu) adalah orang-orang yang paling berjasa dalam hidup kita.

We’ll never know until we try.. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana menjadi orang tua ketika belum mencoba atau merasakannya. Jika kita menginginkan anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang berbakti, maka seprti itulah seharusnya kita bersikap saat ini kepada kedua orang tua. Sebaliknya jika saat ini kita kerap menyakiti hati mereka, maka jangan salahkan anak-anak kita jika kelak mereka juga bersikap yang sama. Naudzubillah.

Dibuat untuk dilanggar?

Seperti biasa pagi ini saya jadi pemburu busway Trans Jakarta. Inilah satu-satunya moda transportasi publik yang menurut saya cukup bisa diandalkan dan ekonomis. Pagi ini waktu tunggunya tidak begitu lama, sekitar 5 menit setelah sampai di halte Bidara Cina, busway sudah datang. Ya meskipun ke arah Kampung Melayu dulu yang artinya saya harus transit untuk sampai ke halte Budi Utomo.

Saya sangat mengapreasiasi kebijakan yang dilakukan oleh Trans Jakarta (TJ) beberapa waktu yang lalu yaitu memisahkan antrian antara laki-laki dan perempuan. Bus TJ koridor 5 yang melayani rute Kampung Melayu-Ancol sebagian besar merupakan bus gandeng. Area bus bagian depan dikhususkan untuk wanita. Hal itu bisa diketahui dari tulisan yang ditempel pada kaca bus. Sementara bus bagian belakang dikhususkan untuk laki-laki. Kenapa saya setuju sama kebijakan itu? Menurut saya, pemisahan penumpang itu membuat kaum wanita lebih nyaman dan tidak risih berdesakan di dalam busway. Selain itu, mayoritas korban kejahatan kebanyakan adalah kaum wanita. Mereka dianggap lemah dan tidak banyak melakukan perlawanan. Jadi, hal tersebut lumayan meminimalisir peluang kejahatan terhadap wanita.

Namun kenyataannya pagi ini saya menyaksikan hal yang cukup mengecewakan, peraturan hanya tinggal peraturan saja. Nyatanya, kaum laki-laki sekarang sudah gak malu-malu lagi untuk berdiri di area khusus wanita. Padahal tulisan ladies’ area masih terpampang dengan baik di tempatnya. Apa memang peraturan dibuat untuk dilanggar? Entahlah, semoga pihak TJ bisa lebih tegas lagi dalam menegakkan peraturan yang telah dibuat.

 

Belajar dari Kepergian Sepatu

Halaman pengolah kata sudah kubuka sejak datang ke ruangan. Sengaja, supaya tidak lupa untuk menulis hari ini. Tapi tetap saja ya kosong, terlalu asik membaca blog teman yang cukup inspiratif. Hehehehe…

Nah pagi ini saya teringat sama kejadian hilangnya sepatu teman saya dua hari yang lalu. Selepas melaksanakan sholat dzuhur di masjid kantor, ia sudah tak mendapati sepatunya lagi di tempatnya. Ia tentu saja ingat betul dimana ia menaruhnya tadi. Teman saya itu masih mencoba untuk berbaik sangka, “mungkin hanya tertukar”, ucapnya. Saat waktu sholat asar tiba, ia menunggu hingga hampir semua orang telah selesai melakukan sholat asar. Dan ternyata sepatunya benar-benar tak kembali lagi.

Berangkat dari cerita tersebut, tentu saja dia merasa kehilangan. Tingkat kehilangannya pun mungkin biasa saja atau cukup mendalam. Hehe cuma sepatu lho, tapi mungkin aja kan ada chemistry antara dia dan sepatunya, hohoho. Merasa kehilangan adalah hal yang sangat lumrah dialami oleh manusia. Bentuk kehilangan juga beragam, bisa kehilangan materi, kehilangan jabatan, kehilangan kekasih (ehem..), maupun kehilangan-kehilangan lainnya. Kehilangan sesuatu yang tidak kita cintai mungkin efeknya biasa saja, tapi saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai mungkin akan memberikan efek yang mendalam. Reaksi antar satu orang dengan orang yang lain juga pastinya berbeda-beda dalam menanggapi satu kehilangan. Ada yang marah-marah, menangis-nangis, bahkan ada juga yang datar-datar saja (padahal hatinya tercabik-cabik,, ). Mungkin juga ada yang mengutuki diri mengapa tak mampu menjaga sesuatu yang hilang itu dengan baik. Kehilangan itu fitrah, hanya saja perlu penyikapan yang baik untuk menghadapinya.

Kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup kita seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk semakin menyadari bahwa sebenarnya kita tidak memiliki apapun di dunia ini. Semua hanya titipan dari Allah, Tuhan yang maha kuasa. Ibarat orang yang dititipi, harus rela jika tiba-tiba pemiliknya mengambil kembali. Lebih dari itu, kita harus berbaik sangka pada-Nya bahwa akan ada pengganti yang lebih baik meskipun tak bisa persis sama. Mungkin dalam kasus teman saya itu, ia akan mendapat ganti sepatu dengan model atau bahan kulit yang lebih baik. Kehilangan juga mengajarkan kita untuk menjaga dengan baik segala sesuatu yang masih ada bersama kita saat ini. Mulai hari ini, mari kita jaga dengan baik segala sesuatu yang masih Allah titipkan. Secara teori saya mudah saja ya ngomong begini, tapi prakteknya luar biasa sulit. Hehe, namanya juga belajar.. ^^

Kenapa Harus Sakit?

Pagi ini saya datang ke kantor terlalu pagi. Bukan bermaksud sok rajin, saya cuma tidak suka macet. Maklumlah arus lalu lintas dari arah Tangerang ke Jakarta akan mengalami kepadatan saat hari semakin siang. Dulu, saat awal-awal tinggal di Jakarta, saya pikir akan mendapati jalanan yang lengang jika saya berangkat setelah jam pergi kantor. Ya maklumlah dulu saya masih kuliah, jadi bisa menentukan jam berapa sebaiknya pergi ke kampus. Dugaan saya ternyata salah besar, semakin siang, lalu lintas Tangerang-Jakarta juga kian padat. Saya ingat betul saat itu saya pernah terpaksa bolos kuliah, padahal saya paling anti bolos kuliah lho (huehee :p). Nah, itulah pengalaman yang sangat tidak mengenakkan buat saya. Semenjak itu, saya memutuskan untuk berangkat lebih pagi saja. Walhasil seperti hari inilah jadinya, kepagian, jam 06.15 sudah sampai daerah Pasar Baru.

Kondisi perut saya siang ini kembali tidak stabil, krues..krues. Memang sehat itu tak ternilai harganya. Tadi sebelum jam istirahat saya sudah berusaha mengantri di poliklinik kantor, tapi ternyata pasien yang menunggu untuk berobat cukup banyak. Ditambah lagi sudah masuk waktu zuhur sehingga dokternya harus sholat terlebih dahulu. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke ruangan dengan keadaan yang cukup menyiksa. Nah, hikmah dari kejadian ini adalah jaga kesehatan, jangan jajan di sembarang tempat, dan makan yang teratur. Betul betul betul?

Namun tetap gak boleh egois, dari 365 hari dalam setahun ini, proporsi waktu yang dihabiskan dalam keadaan sehat masih jauh lebih banyak dibandingkan hari-hari dimana saya sakit. Lalu sudahkah kita mensyukuri nikmat sehat yang telah diberikan? untuk apa waktu-waktu sehat telah dihabiskan?

Pasti ada hikmah dari setiap sakit yang kita rasakan, antara lain seperti di bawah ini:

  1. Sakit adalah penggugur dosa-dosa hamba-Nya. Penyakit yang diderita seorang hamba menjadi sebab diampuninya dosa yang telah dilakukan termasuk dosa-dosa setiap anggota tubuh. Rasulullah Saw bersabda, “Setiap getaran pembuluh darah dan mata adalah karena dosa. Sedangkan yang dihilangkan Allah dari perbuatan itu lebih banyak lagi.”
    (HR. Tabrani).
  2. Orang sakit yang mau bersabar akan mendapatkan pahala dan ditulis untuknya bermacam-macam kebaikan dan ditinggikan derajatnya. Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Tiadalah tertusuk duri atau benda yang lebih kecil dari itu pada seorang Muslim, kecuali akan ditetapkan untuknya satu derajat dan dihapuskan untuknya satu kesalahan.” (HR. Muslim dari Aisyah ra).

Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang bersabar, aamiin. Dan untuk siapapun yang sedang membaca tulisan ini dan sedang sakit, semoga lekas sembuh dan terus semangat ya.

Hidup Baru

Sudah lama gak ngeblog lagi. Kangen mencurahkan ide-ide dan segala sesuatu yang ingin dicurahkan lewat tulisan.

First, saya mau bilang, hidup ini sungguh indah ya, Kawan. Garis hidup yang harus dilalui benar-benar sudah direncanakan oleh-Nya. Kalau ditanya apa cita-cita saya dulu, sudah pasti saya jawab guru matematika. Kenapa? Karena menurut saya, mereka itu keren bisa memecahkan soal-soal matematika yang begitu ‘njelimet’ dengan begitu mudahnya. Allah menakdirkan lain rupanya, saya ‘digiring’ untuk menjadi public servant. Lalu apakah saya kecewa? Hmm, mulanya iya. Dulu saya mempertanyakan kenapa harus seperti ini. Tapi kini, ada banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya itu. Ya salah satunya, saya tidak perlu lagi lah melamar sana-sini. Diskusi-diskusi dengan teman seperjuangan juga makin memantapkan langkah saya di jalan ini. Ia bilang, kalau cita-cita kamu ingin menjadi orang dengan profesi tertentu, maka saat cita-cita itu tercapai, semua itu akan merasa hambar. Lain halnya kalau cita-cita kamu adalah surga (berat ya ngomongnya :)), apapun profesi kamu, semuanya akan lebih menyenangkan dan juga sekaligus bernilai ibadah.

Nah. udah satu bulan lebih ini saya magang di Badan Pusat Statistik, cukup menyenangkan. Ya meskipun sering membosankan juga karena rutinitas yang dilakukan dari hari ke hari sama saja. Feel same like a robot, hehe. Gimanapun harus tetap bersyukur atas pekerjaan yang diamanahkan ini.

Beberapa bulan lagi, saya harus menepati perjanjian untuk ditempatkan di luar pulau Jawa. Ini adalah konsekuensi yang harus ditanggung karena empat tahun belakangan ini saya diberi kesempatan untuk menimba ilmu di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, yang notabene adalah sekolah kedinasan. Saya betul-betul tak masalah dengan perjanjian tersebut. Tinggal di tempat yang baru, berkenalan dengan orang-orang baru. Yang akan berat sepertinya saat harus terpisah jarak sama ibu. Itu mungkin akan tidak mudah buat saya. Sekarang, segala sesuatunya masih banyak disiapkan sama ibu. Hari Sabtu-Minggu bisa pulang ketemu. Tapi nanti, semuanya akan berubah, ga akan selamanya bisa seperti ini. Memang tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri,..

Just Enjoy Every Little Part of this Life

Tak jarang detik-detik yang terlewati dalam hidup ini terlalu sering diisi dengan protes demi protes kepada Allah atas sesuatu yang diangggap tidak adil. Protes-protes itu dapat berupa keluhan maupun caci maki terhadap hal-hal yang tidak kita sukai. Jika hari hujan, tak perlulah marah-marah karena becek, kotor, maupun bau. Toh hujan itu juga membawa berkah tersendiri untuk para pengojek payung, para tukang payung, buruh-buruh di pabrik payung, untuk para penjual kopi seduh, dan sebagainya. Begitu juga kalau hari terasa terik, tak usah jua mengeluh karena panas ataupun sengatannya yang merusak kulit. Toh kita bisa menggunakan sunblock untuk menjaga kulit agar tidak rusak oleh sengatan matahari. Sadar atau tidak, mengeluh itu memberikan efek yang negatif bagi orang-orang di sekitar kita. Mulai sekarang, stop mengeluh ya..

Setiap hembusan nafas yang kita lalui adalah anugrah yang luar biasa dari Allah Swt. Setiap desir darah terus mengalir sementara jutaan orang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Denyut jantung pun tidak pernah lelah untuk melakukan tugasnya, bahkan ketika kita sedang tertidur.

Penglihatan yang sempurna saat jutaan orang terkurung dalam kegelapan. Kasih sayang yang utuh, saat jutaan anak lain merindukan hangatnya dekapan orang tua. Pendidikan yang cukup saat jutaan anak di luar sana tak pernah merasakan bagaimana rasanya bersekolah.

Dalam surat Ar Rahman Allah berfirman, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”. Ayat tersebut diulang-ulang hingga beberapa kali dalam surat yang sama. Memang betul, tak akan mampu kita menghitung nikmat-nikmat dari-Nya. Jadi teringat kemarin pagi saat badanku terasa tak karuan, rasanya lambungku nyeri sekali dan mual. Hingga akhirnya muntah.. Baru diberi sakit seperti itu aku sudah kelimpungan.

Aku memang terlahir di keluarga yang sederhana, aku sangat bersyukur hidup di tengah-tengah mereka. Mungkin memang di banyak tulisanku sebelumnya aku selalu menceritakan tentang ibuku. Ya memang dari sudut pandangku, beliau adalah wanita yang luar biasa. Dari ibu, aku belajar bagaimana menjadi orang yang mampu menerima keadaan. Ibuku orang yang tekun dalam menjalankan ibadah. Beliau akan menyesal bila melewatkan shalat malamnya, bila melewatkan puasa sunahnya.

Baru-baru ini beliau resign dari tempat bekerjanya yang sudah dijalani selama 20 tahun. Dua puluh tahun waktu yang gak sebentar. Selain dengan alasan fisik yang sudah melemah, beliau jg ingin beribadah dengan khusyuk, tanpa di ganggu dengan urusan pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya.

Sekarang, setiap kali aku SMS beliau sehabis magrib, beliau pasti sedang membaca Al Qur’an. Aku tahu meskipun hanya sapaan kecil dariku, itu mampu membuat ibu senang. Makanya setiap hari aku usahakan untuk menyapanya, meski hanya melalui sepenggal pesan singkat,,

teman, ibu kalian juga luar biasa kan seperti ibuku???